Thursday, October 10, 2013

Tes Pengukuran Gerak

Gerak refleks berjalan sangat cepat dan tanggapan terjadi secara otomatis terhadap rangsangan, tanpa memerlukan kontrol dari otak. Jadi dapat dikatakan gerakan terjadi tanpa dipengaruhi kehendak atau tanpa disadari terlebih dahulu. Contoh gerak refleks misalnya berkedip, bersin, atau batuk. Dimana gerak refleks ini merupakan gerak yang dihasilkan oleh jalur saraf yang paling sederhana. Jalur saraf ini dibentuk oleh sekuen dari neuron sensorik ,interneuron, dan neuron motorik, yang mengalirkan impuls saraf untuk tipe refleks tertentu. Gerak refleks yang paling sederhana hanya memerlukan dua tipe sel saraf, yaitu neuron sensorik dan neuron motorik. Gerak refleks bekerja bukanlah Gerak refleks disebabkan oleh rangsangan tertentu yang biasanya mengejutkan dan menyakitkan. Misalnya bila kaki menginjak paku,secara otomatis kita akan menarik kaki dan akan berteriak. Refleks juga terjadi ketika kita membaui makanan enak , dengan keluarnya air liur tanpa disadari.

Tes pengukuran refleks ini bertujuan untuk menilai sejauh mana refleks seseorang, khususnya ketika kakinya dipukul menggunakan hammer.
1. Range of Motion
    Alat yang Digunakan        : goniometer
          Tahapan tes                       :
          1.      Mintalah OP untuk meluruskan tangannya ke depan
          2.      Letakan goniometer tepat pada siku OP
          3.      Mintalah OP untuk menyentuhkan tangannya ke bahu
          4.      Lihat dan catat derajat sudut yang dibentuk siku OP
          5.      Lakukan bergantian pada tangan kanan dan kiri
    2.  MMT (Manual Muscle Test)
   
Cara Pengujian      :
1.  OP diposisikan sedemikian rupa sehingga otot mudah berkontraksi sesuai dengan kekuatannya. Posisi yang dipilih harus memungkinkan kontraksi otot dan gerakan mudah diobservasi.
2.      Bagian tubuh yang dites harus terbebas dari pakaian yang menghambat.
3.      Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan.
4.      OP mengontraksikan ototnya dan stabilisasi diberikan pada segmen proksimal.
5.      Selama terjadi kontraksi, gerakan yang terjadi diobservasi, baik palpasi pada tendon.
6.      Memberikan tahanan pada otot yang dapat bergerak dengan luas, gerak sendi penuh dengan melawan grafitasi.
7.      Melakukan pencatatan hasil MMT.Gunakan taxonomydibawah ini ketika mencatat dan melaporkan hasil uji kekuatan otot:
a)      5 : mampu bergerak dengan luas, gerak sendi penuh, melawan gravitasi, dan melawan tahanan maksimal. à Normal
b)      4 : mampu bergerak dengan luas, gerak sendi penuh, melawan gravitasi, dan melawan tahanan sedang. à Good
c)      3 : mampu bergerak dengan luas, gerak sendi penuh, melawan gravitasi, tanpa tahanan. à Fair
d)     2 : mampu bergerak dengan luas, gerak sendi penuh, tanpa melawan gravitasi. à Poor
e)      1 : tidak ada gerakan sendi, tetapi kontraksi otot dapat dipalpasi. à Trace
0 : kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi.à Zero

Pengukuran Sistem Pendengaran

Telinga merupakan organ pendengaran dan keseimbangan. Terdiri dari telinga luar, tengah dan dalam. Telinga manusia menerima dan mentransmisikan gelombang bunyi ke otak dimana bunyi tersebut akan di analisa dan di intrepretasikan. Cara paling mudah untuk menggambarkan fungsi dari telinga adalah dengan menggambarkan cara bunyi dibawa dari permulaan sampai akhir dari setiap bagian-bagian telinga yang berbeda.
Dalam Setiap aktivitas yang terjadi sehari-hari, telinga merupakan salah satu indera yang sangat dibutuhkan untuk menunjang komunikasi antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Sehingga Pengukuran Sistem Pendengaran dikatakan perlu, apabila seorang individu ingin mengetahui tajam pendengarannya, ataupun ketika seorang individu merasakan adanya gejala gangguan pendengaran. Dalam mengukur fungsi pendengaran sendiri ada berbagai cara yang bisa kita lakukan, dengan menggunakan alat atau tanpa menggunakan alat. Jika kita ingin menggunakan alat kita bisa menggunakan garpu tala sebagai sarana utama dengan berbagai tes yang ada, seperti menggunakan tes  Rinne, tes Weber dan juga tes Schwabach.
Selain menggunakan garpu tala, Kita juga bisa menggunakan tes audiometri untuk mengetahui ambang pendengaran kita. Tes bisik juga merupakan salah satu tes yang dianjurkan dalam pengukuran sistem pendengaran.
a)      Tes Rinne
Tujuan kita melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan antara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga OP (orang percobaan).
Ada 2 cara melakukan tes Rinne, yaitu :
·         Cara yang pertama ialah Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid OP (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah OP tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan di depan meatus akustikus eksternus OP. Tes Rinne positif jika OP masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes Rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya.
·         Cara yang kedua ialah Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya secara tegak lurus pada planum mastoid OP. Segera pindahkan garpu tala di depan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada OP apakah bunyi garpu tala di depan meatus akustikus eksterna lebih keras daripada di belakang meatus akustikus eksterna (planum mastoid). Tes Rinne positif jika OP mendengarnya lebih keras. Sebaliknya tes Rinne negatif jika pasien mendengarnya lebih lemah.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes Rinne yang kita lakukan, yaitu :
-          Normal , Jika tes Rinne positif.
-          Tuli konduktif, Jika tes Rinne negatif.
-          Tuli sensorineural , Jika tes Rinne positif.
Kesalahan pemeriksaan pada tes Rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun pasien. Kesalahan dari PP (Pemeriksa) misalnya meletakkan garpu tala tidak tegak lurus, tangkai garpu tala mengenai rambut OP dan kaki garpu tala mengenai aurikulum PP. Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid OP tebal.
Kesalahan dari OP misalnya OP lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak mendengar bunyi garpu tala saat kita menempatkan garpu tala di planum mastoid OP. Akibatnya getaran kedua kaki garpu tala sudah berhenti saat kita memindahkan garpu tala di depan meatus akustikus eksterna.
b)     Tes  Schwabach
Tujuan kita melakukan tes Schwabach adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara PP dengan OP.
Cara kita melakukan tes Schwabach yaitu membunyikan garpu tala 512 Hz lalu meletakkannya tegak lurus pada planum mastoid PP (pemeriksa). Setelah bunyinya tidak terdengar oleh PP (pemeriksa), segera garpu tala tersebut kita pindahkan dan letakkan tegak lurus pada planum mastoid OP (Orang percobaan). Apabila OP masih bisa mendengar bunyinya berarti Scwabach memanjang. Sebaliknya jika OP  sudah tidak bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach memendek atau normal.
Cara kita memilih apakah Schwabach memendek atau normal yaitu mengulangi tes Schwabach secara terbalik. Pertama-tama kita membunyikan garpu tala 512 Hz lalu meletakkannya tegak lurus pada planum mastoid OP. Setelah OP tidak mendengarnya, segera garpu tala kita pindahkan tegak lurus pada planum mastoid PP. Jika PP juga sudah tidak bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach normal. Sebaliknya jika PP masih bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach memendek.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes Schwabach yang kita lakukan, yaitu :
-          Normal. Schwabch normal.
-          Tuli konduktif. Schwabach memanjang.
-          Tuli sensorineural. Schwabach memendek.
Kesalahan pemeriksaan pada tes Schwabach dapat saja terjadi. Misalnya tangkai garpu tala tidak berdiri dengan baik, kaki garpu tala tersentuh, atau OP lambat memberikan isyarat tentang hilangnya bunyi.
c)      Tes Weber
Tujuan kita melakukan tes Weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien.
Cara kita melakukan tes Weber yaitu membunyikan garpu tala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis median (dahi, verteks, dagu, atau gigi insisivus) dengan kedua kakinya berada pada garis horizontal. Menurut OP, telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras.
Jika telinga OP mendengar atau mendengar lebih keras pada 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua telinga OP sama-sama tidak mendengar atau sama-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes Weber yang kita lakukan, yaitu :
-          Normal. Jika tidak ada lateralisasi.
-          Tuli konduktif. Jika OP mendengar lebih keras pada telinga yang sakit.
-          Tuli sensorineural. Jika OP mendengar lebih keras pada telinga yang sehat.
Misalnya terjadi lateralisasi ke kanan maka ada 5 kemungkinan yang bisa terjadi pada telinga OP, yaitu :
1)      Telinga kanan mengalami tuli konduktif sedangkan telinga kiri normal.
2)      Telinga kanan dan telinga kiri mengalami tuli konduktif tetapi telinga kanan lebih parah.
3)      Telinga kiri mengalami tuli sensorineural sedangkan telinga kanan normal.
4)      Telinga kiri dan telinga kanan mengalami tuli sensorineural tetapi telinga kiri lebih parah.
                        5)   Telinga kanan mengalami tuli konduktif sedangkan telinga kiri mengalami tuli sensorineural.

Tes Buta Warna

Selain untuk melihat pemandangan sekitar, mata kita juga mempunyai fungsi untuk membedakan warna. Maka dari itu, tes kedua dari sistem penglihatan yaitu tes buta warna. Sebenarnya ada 2 cara yang bisa kita lakukan untuk mengetes apakah orang yang kita periksa itu buta warna atau tidak. Yaitu dengan menggunakan buku ishihara dan dengan menggunakan benang golmen.
Tetapi cara yang paling banyak digunakan biasanya menggunakan buku ishihara. Tes menggunakan buku ishihara adalah tes buta warna yang dikembangkan oleh Dr. Shinobu Ishihara. Tes ini pertama kali dipublikasi pada tahun 1917 di Jepang. Sejak saat itu, tes ini terus digunakan di seluruh dunia, sampai sekarang.
Tes buta warna Ishihara terdiri dari lembaran yang didalamnya terdapat titik-titik dengan berbagai warna dan ukuran. Titik berwarna tersebut disusun sehingga membentuk lingkaran. Warna titik itu dibuat sedemikian rupa sehingga orang buta warna tidak akan melihat perbedaan warna seperti yang dilihat orang normal (pseudo-isochromaticism).

-salah satu contoh halaman di dalam buku tes ishihara-



Tahapan dalam  pemeriksaan buta warna dengan metode ishihara, yaitu :
1.         Menggunakan buku Ishihara 38 plate.
2.         Yang perlu diperhatikan :
a.       Ruangan pemeriksaan harus cukup pencahayaannya 
b.      Lama pengamatan untuk membaca angka masing-masing lembar maksimum 10 detik.
c.       Pada tes pembacaan buku Ishihara dapat disimpulkan :
1)      Normal
2)      Buta warna Parsial :
·      Bila plate no. 1 sampai dengan no 17. hanya terbaca 13 plate atau kurang.
·      Bila terbaca angka-angka pada plate no. 18, 19, 20 dan 21 lebih mudah atau lebih jelas dibandingkan dengan plate no. 14, 10, 13, dan 17.
3)      Bila ragu-ragu kemungkinan buta warna parsial dapat dites dengan:
·      Membaca angka-angka pada plate no. 22, 23, 24, dan 25. Pada orang normal, akan terbaca dengan benar angka-angka pada plate-plate tersebut diatas secara lengkap (dua rangkap). Pada penderita buta warna parsial hanya terbaca satu angka pada tiap-tiap plate tersebut diatas.
Menunjuk arah alur pada plate no. 26, 27, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, dan 38.
·      Untuk orang normal bisa menunjuk alur secara benar sedangkan untuk buta warna parsial dapat menunjukkan adanya alur dari satu sisi yang lainnya. 
·      Buta warna total Pada plate no. 28 dan 29, untuk orang normal, tidak bisa menunjukkan adanya alur, sedangkan untuk  penderita buta warna parsial dapat menunjukkan adanya alur dari satu sisi ke sisi yang lainnya.
Pengambilan kesimpulan Tes Buta Warna 
Kesimpulan Tes
·         Buta Warna Total
·         Buta Warna Parsial
Pengambilan Kesimpulan 
1.      Jika  gambar 1 salah dan jawaban gambar lain diabaikan
2.      Jika gambar 1 benar, gambar 2 sampai gambar 16 ada salah lebih dari 3 atau
3.      Jika gambar 1 benar, gambar 22  sampai gambar 24 jawaban hanya benar pada salah satu gambar atau
4.      Jika gambar 1 benar, Jika gambar 18 sampai gambar 21 terlihat angka.  
Normal
1.      Jika gambar 1 sampai gambar 17 benar, atau gambar 1 harus benar dan lebih dari 13 gambar dijawab benar.

2.      Gambar 22 sampai gambar 24 benar atau 2 gambar benar 

Tes Visus (Tajam Pengelihatan)

Di kalangan refraksionis (ahli pemeriksaan refraksi mata) dan kedokteran mata, dikenal dengan istilah uji visus dasar (visus = tajam penglihatan). Pada prinsipnya, uji visus ini adalah upaya untuk mengetahui ketajaman penglihatan seseorang dan menilainya dengan dibandingkan penglihatan normal. Jadi, hasil dari uji visus ini berupa angka perbandingan yang menggambarkan kemampuan penglihatan pasien yang diuji bila dibandingkan dengan penglihatan orang normal.
Alat yang dipakai sebagai obyek tes untuk tes visus ini (biasa disebut optotip) adalah berupa kartu besar atau papan yang berisi huruf - huruf atau angka atau gambar/simbol dalam berbagai ukuran (tertentu) yang disusun urut dari yang terbesar di atas, makin kebawah makin kecil. Setiap ukuran huruf diberi kode angka yang dipakai untuk menilai kemampuan penglihatan orang yang diuji. Dalam penulisan kode - kode tersebut, ada 3 standar notasi yang sering digunakan, yaitu notasi metrik (Belanda), notasi feet (Inggris/imperial), dan notasi desimal (Amerika). Notasi metrik bisa dikenali dengan nilai pembilang yang umumnya 6 (6/…), feet dengan nilai 20 (20/…) dan desimal, sesuai dengan namanya, notasinya berbentuk bilangan desimal (0,…). Ukuran huruf terbesar pada optotip, umumnya berkode 6/60 atau 20/200 atau 0,1.
Penempatan optotip (banyak yang menyebut  Snellen chart), sebaiknya berada di area yang penerangannya bagus namun tidak menimbulkan efek silau. Akan sangat bagus bila ditempatkan di bawah downlight yang cukup terang, dalam ruang yang penerangannya redup.

Cara pengujiannya, tempatkan diri orang yang akan diperiksa tajam penglihatannya sejarak 6 meter (20 feet) dari optotip, tutup sebelah mata  dengan tangan (jangan dipejamkan) dan amati huruf- huruf (atau angka, atau simbol) yang menjadi obyek tes pada optotip tersebut secara urut dari yang terbesar. Kita sebagai pemeriksa berikan instruksi yang jelas, yaitu suruh OP perhatikan baris huruf terkecil yang masih mampu dilihat dengan jelas, lihat kodenya. Jika OP masih mampu melihat dengan jelas huruf - huruf yang berkode 6/30, dan baris huruf di bawahnya tidak mampu lagi, berarti nilai ketajaman penglihatan OP adalah 6/30. Angka 6 menyatakan jarak OP dengan optotip (jarak periksa) yaitu 6 meter, sedangkan angka 30 menyatakan bahwa huruf tersebut masih bisa dilihat dengan jelas oleh penglihatan normal dari jarak 30 meter. Ini bisa dikatakan bahwa OP memiliki tajam penglihatan sebesar 6/30 atau 1/5 (atau 20%) dari penglihatan normal. Lakukan untuk mata yang sebelah lagi, dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Mengapa tidak dilakukan dengan kedua mata terbuka secara bersamaan? Karena ada kemungkinan terjadi perbedaan kemampuan antara mata kiri dengan yang kanan, jadi harus dilakukan penilaian sendiri - sendiri untuk mata kanan dan kiri. Penglihatan yang normal akan memiliki skor 6/6 (20/20 dalam notasi feet) yang berarti mampu melihat jelas huruf - huruf yang berkode 6/6 (20/20 dalam notasi feet) pada optotip.

Sunday, October 6, 2013

Autisme

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Ada pula yang menyebutkan bahwa autis adalah gangguan perilaku yang luas dan berat, mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku motorik, emosi, dan persepsi sensorik yang banyak ditemukan pada anak-anak. Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
-          Interaksi sosial,
-          Komunikasi (bahasa dan bicara),
-          Perilaku-emosi,
-          Pola bermain,
-          Gangguan sensorik dan motoric
-          Perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive Development Disorder) di luarADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
1.      Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
2.      Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3.      Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4.      Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
5.      Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
1.      Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2.      Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3.      Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4.      Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5.      Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1.      Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2.      Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
3.      Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4.      Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5.      Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu

Simtoma Klinis Menurut DSM IV
A.    Interaksi Sosial (minimal 2):
1.      Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2.      Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3.      Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4.      Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B.     Komunikasi Sosial (minimal 1):
1.      Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
2.      Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3.      Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4.      Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C.     Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
1.      Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
2.      Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3.      Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda

GEOLOGI REGIONAL SUB-CEKUNGAN JAMBI, SUMATERA SELATAN



1.1. Geologi Regional
Cekungan Sumatera Selatan dibatasi oleh singkapan berumur Pra-Tersier  yang merupakan bagian dari Paparan Sunda di bagian utara-timurlaut, Pegunungan Bukit Barisan di bagian baratdaya, dan Tinggian Lampung di bagian timur. Cekungan ini tersusun dari tiga sub cekungan besar, dari selatan ke utara yaitu Sub Cekungan Palembang Selatan, Antiklinorium Palembang Utara, dan Sub Cekungan Jambi. 


1.1.1. Kerangka Tektonik

Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan belakang busur vulkanik (back-arc basin) yang dibentuk oleh tiga fase tektonik utama, yaitu: (Gambar 1.1)
1.       Fase ekstensional selama Paleosen Akhir sampai Miosen Awal, membentuk graben mengarah ke Utara yang diisi endapan Eosen sampai Miosen Awal
2.       Sesar normal dari Miosen Awal sampai Pliosen Awal
3.       Fase kompresional yang melibatkan batuan dasar, inversi cekungan, dan pembalikan sesar normal pada Pliosen yang membentuk antiklin, yang merupakan perangkap utama di daerah ini (Bishop et. al., 2001).



Gambar 1.1 Peta Lokasi dan Pola Struktur Cekungan Sumatera Selatan (Bhishop, 2001)
Sub Cekungan Jambi di Cekungan Sumatera Selatan adalah rangkaian half-graben berumur Paleogen yang berarah umum timurlaut - baratdaya, diantaranya adalah Tembesi high, Berembang depression, Sengeti-Setiti high, Tempino-Kenali Asam depression, Ketaling high, East Ketaling depression, Merang high, dan Merang depression (Gambar 1.2). Sub Cekungan Jambi memiliki dua pola struktur yang berbeda yaitu pola struktur berarah timurlaut–baratdaya sebagai pengontrol pembentukan graben dan pengendapan Formasi Talang Akar dan pola struktur berarah baratlaut – tenggara yang berkaitan dengan tektonik kompresi dan menghasilkan sesar – sesar naik dan antiklin.


           Gambar 1.2 Peta Elemen Tektonik sub-Cekungan Jambi, Cekungan Sumatera Selatan
Tampak lapangan Kenali Asam merupakan bagian daei Tempino-Kenali Asam Deep



Sejarah Cekungan Sumatera Selatan dapat dibagi menjadi tiga megasekuen tektonik yaitu:
1.       Syn-rift Megasequence (c.40 – c. 29 Ma)
Kerak kontinen di daerah Sumatera Selatan terkena event ekstensi besar pada Eosen-Oligosen Awal akibat subduksi di sepanjang palung Sumatera. Ekstensi ini menghasilkan pembukaan beberapa half-graben yang geometri dan orientasinya dipengaruhi oleh heterogenitas basement. Kemudian, terjadi ekstensi yang berorientasi Barat-Timur menghasilkan horst dan graben yang berarah Utara Selatan. Sumatera Selatan telah berotasi sebesar 150 sejak Miosen menurut Hall (1995) yang menghasilkan orientasi graben menjadi berarah Utara-Baratlaut dan Selatan-Tenggara.
2.       Post-rift Megasequence (c.29 – c.5 Ma)
Endapan post-rift di Sub Cekungan Palembang mencapai ketebalan 13.000 kaki, hal ini disebabkan oleh subsidence yang tinggi dan muka laut relatif yang juga tinggi menyebabkan transgresi berkepanjangan.

3.       Syn-orogenic/Inversion Megasequence (c. 5 Ma – sekarang)
      Event orogen yang menyebar luas, orogenesa Barisan, muncul di sepanjang Sumatera Selatan. Lipatan transpressional yang berorientasi memanjang pada arah Baratlaut-Tenggara terbentuk sepanjang cekungan dan memotong tubuh syn-rift di bawahnya. Kebanyakan perangkap struktural di bagian tengah cekungan ini dimulai pada megasekuen ini.
Gambar 1.3. merupakan skematik tektonostratigrafi Cekungan Sumatera Selatan



Gambar 1.3. Skematik Tektonostratigrafi Cekungan Sumatera Selatan

1.1.2.  Stratigrafi Regional
Stratigrafi regional Sub Cekungan Jambi yang merupakan bagian dari Cekungan Sumatera Selatan tersusun oleh (Gambar 1.4) :
1.       Basement Pre-Tersier
2.       Formasi Lahat
3.       Formasi Talang Akar
4.       Formasi Baturaja
5.       Formasi Gumai
6.       Formasi Air Benakat
7.       Formasi Muara Enim
8.       Formasi Kasai dan
9.       Endapan Alluvial

Batuan Dasar Pre-Tersier

Tidak ada informasi tentang Batuan dasar Pre-tersier yang menjadi alas seluruh endapan tersier di Lapangan Kenali Asam. Kajian pada lapangan lain di sekitar lapangan ini menunjukkan kehadiran batuan dasar sebagai batuan metamorf derajat rendah seperti sabak, filit, dan kuarsit dengan pirit dan kuarsa di dalam rekahan. Batuan dasar ini diperkirakan berumur Kapur.
Endapan Rift berumur Oligosen
LAF (Lahat Formation)
Formasi Lahat terdiri dari endapan vulkanik, kipas aluvial, dataran banjir, dan lakustrin. Penyebarannya dikontrol oleh graben, yang dibagian atasnya ditutupi secara tidak selaras oleh endapan berumur Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah. Memiliki ketebalan > 2000 m terutama dibagian tengah graben, dan pada bagian tinggian endapan ini tidak dijumpai. Formasi Lahat ekivalen dengan Formasi Lemat di area Pendopo (bekas wilayah STANVAC). Pembagian secara lebih terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut :
•     Di bagian bawah berupa endapan vulkanik Kikin yang terdiri dari aliran lava andesit dan piroklastik 
      (dapat mencapai ketebalan 800 m).
•     Di bagian tengah diendapkan anggota klastik kasar Lemat yang terdiri dari endapan kipas aluvial
      dan dataran aluvial (ketebalan beberapa ratus meter).
•     Di bagian atas diendapkan anggota Serpih Benakat yang berselingan dengan lapisan batubara
      (ketebalan 400 – 600 m).
Endapan berumur Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah
TAF (Talang Akar Formation)
Formasi Talang Akar (TAF) diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Lahat (LAF) dengan ketebalan > 1000 m pada bagian terdalam dan seringkali tidak muncul pada daerah tinggian. Di bagian bawah berupa endapan progradasi yaitu endapan aluvial dan dataran delta dan di bagian atas berupa endapan transgresif yaitu endapan tebal batupasir dengan sedikit sisipan serpih dan lapisan batubara. Formasi ini mulai diendapkan pada akhir Oligosen (N2/N3)
Anggota Transisi (Transitional Member)
Anggota Transisi berubah secara berangsur ke arah atas menjadi Formasi Baturaja (BRF) yang didominasi oleh endapan batugamping. Pada umumnya memperlihatkan kontak selaras, namun pada bagian pinggir cekungan memperlihatkan kontak tidak selaras dengan batuan dasar tanpa adanya endapan Formasi Talang Akar (TAF). Hal ini menunjukkan bahwa proses transgresif berlangsung secara menerus setelah diendapkannya Formasi Talang Akar (TAF).
BRF (Baturaja Formation)
Batugamping ini berkembang dari Sub Cekungan Palembang Selatan ke arah utara ke Sub Cekungan Jambi. Pada bagian terdalam dari Sub Cekungan Jambi dan Palembang Tengah, batugamping Formasi Baturaja (BRF) digantikan oleh endapan marine berupa serpih gampingan yang seringkali tidak bisa dipisahkan dengan Formasi Gumai (GUF) berupa endapan serpih. Ke arah timur batugamping memperlihatkan perselingan dengan batulumpur karbonatan dan batupasir. Batugamping ini berupa karbonat platform dan secara lokal di bagian atasnya berupa reef build-up, memiliki ketebalan 60–100 m namun kadang-kadang dapat mencapai 200 m apabila berupa reef build-up. Formasi Baturaja diendapkan pada N5 sampai dengan pertengahan N6.
GUF (Gumai Formation)
 Formasi ini menyebar dari arah timurlaut dan timur sampai ke Paparan Sunda, dan hadir sebagai endapan marine dari suatu laut terbuka. Formasi Gumai didominasi oleh endapan serpih terutama di Cekungan Sumatera Selatan dan beberapa lapisan tipis batugamping (stringer) di daerah Jambi, lapisan vulkanik, serta setempat sisipan batulanau dan batupasir halus, memiliki ketebalan berkisar dari 450–750 m, pada bagian tengah Sub Cekungan Jambi ketebalannya dapat mencapai 1.735 m, sedangkan di Sub Cekungan Palembang Selatan ketebalannya dapat mencapai 2.100 m.
ABF (Air Benakat Formation)
Formasi ini diendapkan secara selaras diatas Formasi Gumai (GUF), terdiri dari endapan batupasir, perselingan dengan serpih dan batugamping (setempat), kadang-kadang dijumpai lapisan batubara, diendapkan pada lingkungan marine terutama di daerah tidal-to-wave influence deltaic. Endapan klastik ini membaji ke arah tenggara yaitu ke arah Sub Cekungan Palembang Tengah dan Palembang Selatan. Endapan yang berpotensi sebagai reservoir terutama pada fasies distal. Formasi Air Benakat memiliki ketebalan berkisar antara 850 – 950 m dan pada bagian utara memiliki ketebalan 1400 – 1500 m.

Siklus Pengendapan akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir
MEF (Muara Enim Formation)
 Siklus pengendapan transgresif – regresif diawali dari Formasi Air Benakat (ABF) yang berubah secara perlahan menjadi Formasi Muara Enim (MEF) yang terdiri dari perselingan serpih karbonatan, batulanau, batupasir, dicirikan oleh melimpahnya lignit (satu lapisan lignit dapat mencapai ketebalan 30 m), dan sisipan tufan seringkali dijumpai secara lokal.
Endapan Termuda (Pliosen-Pleistosen)
Kasai Formation
 Formasi Kasai diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Muara Enim (MEF) terutama di bagian tengah cekungan, hadir sebagai perselingan endapan vulkanik klastik dengan serpih bentonit serta sisipan lignit.
Aluvial dan Vulkanik Kuarter
  Pada bagian atas Formasi Kasai diendapkan endapan aluvial dan vulkanik Kuarter dengan kontak tidak selaras.
Gambar 1.4 merupakan gambar skematik kronostratigrafi Cekungan Sumatera Selatan

 

 
  Gambar 1.4  Skema Kronostratigrafi untuk Cekungan Sumatera Selatan